Suku Asmat adalah kelompok etnis New Guinea, yang tinggal di provinsi Papua Selatan, Indonesia. Suku Asmat mendiami wilayah di pantai barat daya pulau yang berbatasan dengan Laut Arafura. Dengan luas daratan sekitar 18.000 km2 (7.336 mi2) dan terdiri dari hutan bakau, rawa pasang surut, rawa air tawar, dan hutan hujan dataran rendah.
Tanah Asmat terletak di dalam dan berdekatan dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah Situs Warisan Dunia, kawasan lindung terbesar di kawasan Asia-Pasifik. Total populasi Asmat diperkirakan sekitar 110.000 pada tahun 2020. Istilah “Asmat” digunakan untuk menyebut masyarakat dan wilayah yang mereka tinggali.
Suku Asmat memiliki salah satu tradisi mengukir kayu paling terkenal di Pasifik, dan karya seni mereka banyak dicari oleh kolektor di seluruh dunia.
Budaya dan subsisten
Lingkungan alam telah menjadi faktor utama yang mempengaruhi suku Asmat, karena budaya dan cara hidup mereka sangat bergantung pada kekayaan sumber daya alam yang terdapat di hutan, sungai, dan laut. Suku Asmat hidup dari pati pohon sagu (Metroxylon sagu), ditambah belatung kumbang sagu (Rhynchophorus bilineatus), krustasea, ikan. Hewan buruan hutan, dan barang-barang lain yang dikumpulkan dari hutan dan perairan mereka.
Bahan-bahan untuk membuat kano, tempat tinggal, dan ukiran kayu juga dikumpulkan secara lokal, sehingga budaya dan keanekaragaman hayati saling terkait. Karena banjir yang terjadi setiap hari di banyak wilayah di wilayah mereka, tempat tinggal suku Asmat biasanya dibangun dua meter atau lebih di atas tanah, ditinggikan di atas tiang kayu. Di beberapa daerah pedalaman, suku Asmat pernah tinggal di rumah pohon yang kadang setinggi 25 meter dari permukaan tanah. Suku Asmat secara tradisional sangat menekankan penghormatan terhadap leluhur, khususnya mereka yang merupakan pejuang ulung.
Kesenian Asmat terdiri dari ukiran kayu bergaya rumit seperti tiang bisj dan dirancang untuk menghormati leluhur. Banyak artefak Asmat yang telah dikoleksi oleh museum-museum dunia, di antaranya yang paling menonjol adalah yang ditemukan di Koleksi Michael C. Rockefeller di Metropolitan Museum of Art di New York City dan Tropenmuseum di Amsterdam. Kesenian Asmat banyak dikoleksi di museum-museum besar di Barat meskipun terdapat kesulitan dalam mengunjungi daerah terpencil untuk mengumpulkan karya. Seni yang “sangat ekspresif” ini “menyebabkan sensasi di kalangan pengumpul karya seni” yang menyebabkan dilakukannya ekspedisi pengumpulan berskala besar di wilayah tersebut. Era pasca-Perang Dunia II, menurut pakar seni dan etnolog Dirk A.M. Smidt. Salah satu koleksi Seni Asmat terlengkap dapat ditemukan di American Museum of Asmat Art di Universitas St. Thomas di St. Paul, Minnesota.
BACA JUGA : Sejarah di Balik Kelamnya Keraton Yogyakarta
Secara tradisional, banyak laki-laki Asmat yang melakukan poligami dengan menikahi lebih dari satu perempuan. Dalam banyak kasus, laki-laki diharapkan untuk menikahi istri dari kerabat laki-laki ketika kerabat tersebut meninggal. Agar janda dan anak yatim piatu tersebut tidak kehilangan sumber perlindungan atau dukungan ekonomi. Schneebaum melaporkan bahwa banyak laki-laki Asmat memiliki ritual hubungan seksual/persahabatan (mbai). Jangka panjang dengan laki-laki lain, meskipun prevalensi praktik ini masih diperdebatkan oleh orang lain. Dalam sistem mbai, pasangan laki-laki juga diketahui berbagi istri dalam praktik yang disebut papitsj. Ada kemungkinan bahwa pengaruh misionaris dalam beberapa dekade terakhir telah mengurangi terjadinya mbai dan papitsj.
Penggerebekan pengayauan merupakan elemen penting dalam budaya Asmat hingga para misionaris memberantas praktik tersebut. Yang menurut beberapa laporan, masih bertahan hingga tahun 1990an. Kematian seorang dewasa, bahkan karena penyakit, diyakini disebabkan oleh musuh, dan kerabatnya berusaha untuk mengambil alih siklus balas dendam dan pendamaian leluhur yang tiada akhir. Kepala dianggap perlu untuk ritual di mana anak laki-laki diinisiasi menjadi dewasa. Kanibalisme adalah ciri tambahan dari ritual setelah pemenggalan kepala.