Batombe merupakan seni pertunjukan balas-membalas pantun. Yang menyampaikannya dengan cara mendendangkan dengan balas membalas pantun antara kaum laki-laki dan kaum perempuan yang berasal dari Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatera Barat.
Sejarah Mula Batombe
Tradisi kesenian batombe bermula dari membangun Rumah Gadang / Besar. Konon, masyarakat dari Nagari Abai penduduknya masih sangat sunyi dan diselimuti beragam ancaman mulai dari beragam satwa liar serta cuaca di sekitar yang cukup buruk. Oleh karenanya masyarakat berinisiatif untuk membangun Rumah Gadang yang dapat ditempati bersama-sama. Tradisi Batombe tujuannya untuk memotivasi bagi pria dewasa agar kembali bersemangat menebang pohon ke hutan setelah usai makan siang. Dan Pohon yang ditebang tersebut akan diolah menjadi tonggak atau tiang besar, dan papan untuk membangun Rumah Gadang pertama di Nagari Abai. Rumah Gadang tersebut kini dikenal dengan nama Rumah Gadang 21 Ruang, rumah adat dengan ukuran paling panjang di Sumatera Barat. Rumah tersebut berfungsi untuk menjaga keselamatan penduduk dari serbuan binatang buas rumah tersebut juga berfungsi sebagai tempat hunian keluarga, pembangunan Rumah Gadang tersebut juga diproyeksikan sebagai tempat pertemuan dan pusat pagelaran seni budaya.
BACA JUGA : Mengenal Adat Dan Budaya Suku Dani
Sebelum tradisi Batombe digelar, terlebih dahulu biasanya dilakukan penyembelihan seekor kerbau atau sapi minimal seekor kambing. Pelaksanaan tradisi Batombe tanpa menyembelih hewan ini dianggap melanggar aturan atau berutang secara adat. Hal ini juga sering dikaitkan dengan sebuah cerita turun-temurun dikalangan masyarakat Nagari Abai. Pada mulanya, sebatang pohon yang sudah dipilih akan dijadikan tiang Rumah Gadang 21 Ruang tidak bisa ditarik setelah ditebang. Namun, tatkala seekor kerbau disembelih, pohon tersebut bisa ditarik oleh beberapa penduduk Nagari Abai.
Meskipun sejak tahun 1960-an tidak ada lagi pembangunan rumah adat di Nagari Abai. Namun tradisi Batombe tetap eksis hingga saat ini. Masyarakat Nagari Abai berupaya menjaga dan melestarikan salah satu tradisi lisan Minang ini dengan cara menjadikannya sebagai media hiburan bagi masyarakat. Seperti pada pesta perkawinan, pengangkatan datuk, festival kebudayaan, penyambutan tamu khusus, dan ajang promosi pariwisata daerah.