Asal Usul Kota Binjai merupakan salah satu wilayah dalam proyek pengembangan Mebesar yang meliputi wilayah Medan, Binjai, dan Deli Serdang. Saat ini Binjai dan Medan terhubung melalui Jalan Raya Trans Sumatera yang menghubungkan Medan dan Banda Aceh. Oleh karena itu, Binjai terletak di kawasan strategis yang menjadi pintu gerbang Kota Medan di provinsi Aceh.
Binjai sudah lama disebut sebagai kota rambutan karena rambutan Binjai sangat terkenal. Bibit rambutan asal Binjai telah tersebar, dan dibudidayakan di berbagai tempat di Indonesia. Seperti Blitar, Jawa Timur, menjadi komoditas unggulan di daerah tersebut.
Dahulu Kota Binjai disebut sebagai kota yang terletak di antara Sungai Mencirim, di sebelah timur dan Sungai Bingai di sebelah barat. Terletak di antara dua kerajaan Melayu, yaitu Kesultanan Deli dan Kerajaan Langkat. Berdasarkan cerita para leluhur, baik yang diceritakan maupun dikisahkan dalam berbagai tulisan yang ditemukan. Kota Binjai berawal dari sebuah desa kecil yang terletak di tepian Sungai Bingai, kira-kira di Desa Pekan Binjai saat ini.
Upacara adat pembukaan desa ini, dilaksanakan di bawah pohon Binjai (Mangifera caesia) yang rindang. Yang batangnya sangat besar, tumbuh kokoh di tepian Sungai Bingai yang bermuara di Sungai Wampu. Sungai yang cukup besar, dan dapat dinavigasi dengan kano besar yang mendayung hingga jauh ke dalam desa.
Di sekitar pohon besar Binjai itulah, dibangun beberapa rumah yang lama kelamaan menjadi besar dan luas. Hingga akhirnya berkembang menjadi pelabuhan atau pelabuhan, yang ramai dikunjungi kapal tongkang yang datang dari Stabat, Tanjung Pura dan juga dari Selat Malaka. Lalu nama pohon Binjai itulah, yang akhirnya menjadi nama kota Binjai. Binjai merupakan salah satu jenis pohon yang buahnya dapat dimakan. Pohon ini dikenal juga dengan nama embacang. Kata Binjai berasal dari bahasa Melayu.
Masjid di Binjai (1890-1894)
Dalam versi lain yang mengacu pada beberapa referensi, asal usul kata “Binjai” merupakan kata baku dari istilah “Binjéi” yang merupakan arti dari kata “ben” dan “i-jéi” yang dalam bahasa Karo berarti “untuk bermalam di sini”. Pemahaman tersebut diyakini oleh sebagian masyarakat asli kota Binjai, khususnya suku Karo.
BACA JUGA : Sosial Budaya Kamboja Dan Juga Sejarahnya
Hal ini berdasarkan fakta sejarah bahwa pada zaman dahulu kota Binjai merupakan sebuah desa yang berada pada jalur yang dilalui oleh para pembawa garam (Bahasa Batak Karo: perlanja sira), yaitu para pedagang yang membawa barang dagangan dari dataran tinggi Karo dan menukarnya dengan garam. pedagang di daerah tersebut. pantai Langkat.
Perjalanan yang ditempuh Sira secara perlahan hanya dengan berjalan menyusuri hutan belantara menyusuri jalur tepian sungai dari dataran tinggi Karo hingga pesisir pantai Langkat dan tidak bisa dilakukan dalam satu atau dua hari, sehingga selalu bermalam di tempat yang sama, begitu pula sebaliknya. , kembali dari dataran. Karo Hilir yaitu pesisir pantai Langkat, para pelancong ini kembali bermalam di tempat yang sama, kemudian lama kelamaan menjadi sebuah desa yang mereka beri nama “Kuta Benjéi”.